Penulis : Noer Apptika Fujilestari, S.IP., M.Si (Akademisi Ilmu Pemerintahan FISIP UNJANI)
Maret 2020, Indonesia mengalami bencana pandemic Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang penyebarannya oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic. Dampak dari pandemic Covid-19 di Indonesia ini terjadi secara multidimensi, artinya pandemic covid-19 yang awalnya hanya menyasar sektor Kesehatan saja namun juga melebar ke sector lain seperti sector ekonomi dan politik. Dari sector Kesehatan dampak yang paling terasa adalah tingginya angka kematian disebabkan oleh meningkatnya angka penyebaran terpaparnya virus covid-19. Dampak terhadap sector ekonomi adalah meningkatnya angka kemiskinan disebabkan oleh tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya karena tidak stabilnya keuangan perusahaan. Sedangkan dampak terhadap sector politik adalah ditundanya pelaksanaan pilkada serentak yang awalnya pesta demokrasi ini akan digelar pada bulan September 2020 ditunda hingga bulan Desember 2020.
Rabu, 09 Desember 2020 pilkada serentak di beberapa daerah tetap dilaksanakan. Pelaksanaan pesta demokrasi di masa pandemic ini menuai kontroversi, hal ini karena public menilai pemerintah kurang bijak jika pada masa pandemic tetap dilaksanakan pilkada sementara masyarakat dianjurkan untuk tetap mematuhi protocol Kesehatan salah satunya dengan menjaga jarak dan tidak membuat kerumunan masa. Pelaksanaan Pilkada serentak ini tentu memungkinkan untuk mengundang masa berkerumun. Jika dianalisis ada beberapa konsekuensi dari pilkada serentak di masa pandemic :
- Angka penyebaran terpaparnya covid-19 meningkat.
- Anggaran Pilkada Meningkat. Anggaran pilkada meningkat dikarenakan panitia perlu menyediakan alat Kesehatan sesuai dengan protocol covid-19 seperti penyedian thermogun, masker, handsanitizer, handwash dan rapid test bagi KPPS dan saksi.
- Tingkat Partisipasi Pemilih Menurun. Pesta demokrasi yang digelar di masa pandemic membuat public khawatir untuk turut serta menyalurkan hak demokrasinya dengan cara memilih calon pemimpinnya sehingga ini memungkinkan public melakukan Tindakan apatis dan golput untuk tidak ikut memilih.
- Minusnya pengetahuan masyarakat untuk mengenal sosok calon pemimpinnya. Tidak adanya pelaksanaan kampanye secara masif di masa pandemic membuat masyarakat kurang mengenal calon pemimpinnya, seharusnya kampanye adalah ajang bagi calon pemimpin untuk “menjual” dirinya, memaparkan visi dan misinya sehingga dapat menarik perhatian konstituen.
Hal yang paling menarik diantara ketiga konsikuensi pelaksanaan pilkada serentak pada masa pandemi diatas adalah tingkat partisipasi konstituen yang menurun. Dimana seharusnya pesta demokrasi menjadi ajang bagi masyarakat untuk menyuarakan hak demokrasinya, untuk menunjukan kepeduliannya terhadap kehidupan politik di daerahnya. Gelaran pesta demokrasi akan dinilai efektif dan berhasil jika tingkat pasrtisipasi masyarakatnya tinggi, namun ini memang sulit dilakukan di masa pandemic. Beberapa hal yang menjadi penyebab menurunnya tingkat partisipasi masyarakat. Pertama, kurangnya sosialisasi terkait pelaksanaan pemilu pada masa pandemic. Kedua, Informasi mengenai protocol Kesehatan pilkada tidak massif dilakukan. Ketiga, meningkatnya angka penyebaran covid-19 menyebabkan beberapa daerah menjadi zona merah sehingga masyarakat takut dan khawatir untuk ikut turut memberikan suaranya pada pemilu serentak. Tingkat partisipasi pemilih menurun tentu ini akan berpengaruh pada kualitas demokrasi dan legitimasi bagi kepala daerah yang terpilih dalam pilkada.
Namun Pemerintah beralasan untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri di tingkat daerah mulai dari Provinsi, Kabupaten dan Kota pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah mulai dari Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota serta Bupati dan Wakil Bupati perlu dilaksanakan hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Pemerintah menganggap bahwa pada masa pandemi ini perlu diambil tindakan melalui kebijakan-kebijakan strategis yang tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat namun juga oleh Pemerintah daerah sehingga pelaksanaan pilkada serentak pada masa pandemic dianggap sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi bencana pandemic covid-19. Pandemi covid-19 dianggap bukan menjadi penghalang untuk tetap menjalankan roda pemerintahan dan demokrasi asal pelaksanaannya tetap mematuhi protocol Kesehatan yang sudah ditetapkan oleh WHO.