Penulis : Budhi Irawan, Agung Nugroho Jati, Nur Andini, Wakhyu Dwiono, Satia Zaputra, Dimitri Mahayana
[KPJabar] – Teknologi Internet adalah salah satu produk kemajuan tenologi komunikasi data dan informasi yang sudah menjadi menjadi kebutuhan utama dan gaya hidup umat manusia sejak beberapa dekade terakhir didunia termasuk didalamnya adalahdi Indonesia. Tanpa disadari, teknologi internet telah mengubah pola kerja, gaya hidup, kebiasaan, kehidupan sosial, sistem ekonomi dan budaya manusia. Sebagian besar aspek kehidupan manusia sudah dapat dilakukan melalui teknologi ini seperti interaksi sosial, komunikasi, pendidikan, perdagangan, kesehatan, hiburan, perbankan, dan lain sebagainya.
Mengacu kepada informasi dari Digital 2020 yang dilansir dari We are Social dan Hootsuite, Indonesia menjadi salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia yaitu sekitar 175 juta orang. Rata-rata di Indonesia, kegiatan mengakses internet per hari sekitar 7 jam 59 menit dan hal ini menempatkan Indonesia menduduki peringkat delapan dunia dengan waktu akses terlama. Untuk penggunaan media sosial, Indonesia mengakses medsos per hari sekitar Indonesia rata-rata sekitar 3 jam 59 menit dan kondisi inipun menempatkan Indonesia menduduki peringkat lima dunia dengan waktu akses terlama. Selain itu, penetrasi media sosial Indonesia sudah mencapai 59 persen atau lebih dari separuh populasi pengguna internet di Indonesia. Dan media sosial terpopuler di Indonesia adalah youtube kemudian dilanjutkan oleh Whatapps, Facebook, Instagram dan Twitter.
Aspek objektif dari lingkungan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi perilaku manusia. Pada aspek objektif ini terdapat faktor teknologi yang mana pengaruhnya terhadap perilaku manusia sudah sering menjadi pembicaraan. Alvin Tofler menyebutkan tiga gelombang peradaban manusia akibat perubahan teknologi yaitu lingkungan teknologis (technosphere), pola-pola penyebaran informasi (infosphere) dan suasana kejiwaan (psychosphere). Pola-pola penyebaran informasi (infosphere) inilah yang mempengaruhi suasana kejiwaan (psychosphere) masyarakat.
Adiksi internet belum dikenal sebagai gangguan medis secara global. Ivan Goldberg dan Kimberly Young menemukan kesamaan pada diagnosis adiksi berjudi dan orang yang diduga mengalami adiksi internet, seperti halnya kemiripan adiksi berjudi dengan adiksi napza. Oleh karena itu ciri adiksi napza dapat diterapkan pada penderita adiksi internet. Ciri tersebut antara lain:
1. Salience
Salience terjadi ketika seseorang sudah tidak dapat mengendalikan diri untuk meminum alkohol atau mengonsumsi sabu-sabu. Dalam situasi apapun seseorang ini hanya memikirkan alkohol atau sabu-sabu. Kuss dan Griffiths (2015) menjadikan salience sebagai hal yang membedakan antara seseorang yang mengalami adiksi internet dengan pengguna internet.
2. Tolerance
Toleransi pada internet terjadi sebagai cara seseorang untuk melarikan diri dari persoalan. Semakin tinggi seseorang mendapat apresiasi dari internet, semakin lama waktu yang digunakan untuk menggunakan internet.
3. Mood modification
Mood modification merupakan salah satu cara untuk mengubah perasaan dari duka menjadi suka. Seseorang yang mengalami permasalahan mungkin akan menjadikan internet sebagai cara untuk mengubah rasa duka menjadi suka. Pelarian kepada internet mungkin dinilai lebih baik daripada pelarian kepada tindakan kekerasan, alkohol maupun berjudi tetapi pelarian kepada internet ini merupakan tindakan mengubah perasaan dari duka menjadi suka yang tidak berfungsi.
4. Loss of control
Loss of control merupakan ketidakmampuan seseorang mengendalikan perilaku. Adanya adiksi internet dapat menyebabkan seseorang kehilangan kontrol yang dapat menyebabkan berkembangnya akibat-akibat psikososial yang negatif dan depresi yang berkelanjutan pada lingkungan sekolah, pekerjaan maupun sosial lainnya.
5. Withdrawal
Withdrawal merupakan perasaan tidak enak ketika zat adiktif atau kegiatan yang menyebabkan adiksi dihentikan secara tiba-tiba. Berdasarkan penelitian Kuss dan Griffiths, apabila penderita adiksi internet dihentikan aktivitas penggunaan internetnya secara tiba-tiba, seseorang tersebut akan mengalami gejala psikologis dan fisiologis yang mirip dengan penderita adiksi napza seperti menggigil, mual, panas badan, apati, kehilangan minat untuk berkegiatan, sakit perut dan masalah gastrointestinal lainnya.
6. Denial and concealment
Seseorang yang mengalami adiksi terkadang menyadari bahwa telah banyak masalah yang tertumpuk akibat adiksinya namun seseorang ini berusaha menyembunyikan bahkan mencari pembenaran atas tindakannya tersebut. Hal ini dapat terjadi pada penderita adiksi internet.
7. Relapse
Relapse merupakan kambuhnya adiksi yang diderita seseorang. Relapse merupakan karakteristik utama adiksi internet.
Adiksi internet dan media sosial adalah Kecanduan atau ketergantungan secara fisik dan mental terhadap internet dan media sosial dengan ciri memiliki kepedulian yang berlebihan pada penggunaan pada teknologi ini dan dorongan yang tidak terkendali untuk menggunakannya serta mencurahkan banyak waktu sehingga mengganggu bidang kehidupan lainnya. Penelitian tentang adiksi internet pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Kimberly Young pada tahun 1996 yang memberikan definisi terhadap adiksi internet dan mengeluarkan instrument assement yaitu Internet Addiction Test (IAT). Dampak dari adiksi ini tidak bisa dianggap sepele, karena akan mempengaruhi kualitas kehidupan seseorang baik fisik maupun emosional. Contoh dari gejala fisik dari dampak adiksi ini diantaranya : sakit punggung, sakit kepala, Insomnia, nutrisi buruk, kebersihan pribadi buruk, sakit leher, mata kering dan masalah penglihatan lainnya. Sedangkan untuk gejala emosional diantaranya : depresi, ketidakjujuran, perasaan bersalah, kegelisahan, perasaan euforia saat menggunakan komputer atau gadget, ketidakmampuan memprioritaskan jadwal, mengisolasi diri, lemah pertahanan diri, menghindari pekerjaan, agitasi, perubahan suasana hati, takut, larut dalam kesendirian, kebosanan dengan tugas rutin dan sering menunda pekerjaan.
Pada awal kuartal ke-empat tahun 2020 telah dilakukan survey adiksi oleh mahasiswa Program Doktor STEI Institut Teknologi Bandung menggunakan metode survey adiksi internet kepada sejumlah responden yang tersebar di Indonesia berbasis instrument IAT dengan tujuan untuk mengetahui seberapa banyak responden khususnya generasi X (usia 35-59 tahun), Y (usia 25-38 tahun), dan Z (usia 5-24 tahun) yang diduga mengalami adiksi internet dan media sosiial.
Pada studi tersebut dilakukan survey terhadap 2014 orang responden secara umum dan difilter khusus generasi X,Y Z sebanyak 1986 responden dengan parameter yang bervariasi seperti sebaran usia dari anak-anak hingga manula, jenis pekerjaan, latar belakang pendidikan, sudah berapa lamakah memakai gadget, hingga durasi pengaksesan media sosial perhari dan lain-lain. Kemudian semua parameter tersebut dianalisa dengan menggunakan metode chi square untuk menghitung korelasinya terhadap adiksi internet maupun media sosial berdasarkan instrument IAT.
Berdasar kepada pengolahan hasil survey yang sudah dilakukan, perkiraan fenomena adiksi internet dan media sosial dialami oleh Generasi X, Y, dan Z adalah memiliki persentase masing-masing sebesar 24,39%-26,95% dan 19,32%-21,36%. Semakin muda generasi di Indonesia, semakin besar persentase pada generasi tersebut mengalami adiksi internet dan media sosial. Pada Generasi X dan Y, persentase laki-laki yang mengalami adiksi internet dan media sosial lebih besar dari persentase perempuan yang mengalami adiksi internet dan media sosial dan sebaliknya pada Generasi Z, persentase perempuan yang mengalami adiksi internet dan media sosial lebih besar dari persentase laki-laki yang mengalami adiksi internet dan media sosial. Kemudian, waktu yang dihabiskan oleh generasi X, Y, dan Z untuk melakukan akses media sosial lebih lama dibandingkan waktu untuk melakukan akses website lainnya dan media sosial yang diakses dalam waktu paling lama adalah WhatsApp (WA). Selain itu, dari hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kelompok generasi dan tingkat adiksi berupa mild, moderate, dan severe.
Fenomena adiksi internet dan media sosial pada Generasi X, Y, dan Z di Indonesia itu adalah riil dan sains (bukan pseudo sains), karena pengukuran yang diterapkan menggunakan metode ilmiah. Hasil pengujian reliabilitas dan validitas dari instrumen survey juga mendukung bahwa pengukuran adiksi ini riil dan sains. Selain itu adanya hubungan antara kelompok generasi dengan tingkat adiksi Internet dan media sosial yang menggunakan analisa Chi-Square juga mendukung bahwa pengukuran inipun menunjukan bahwa adiksi ini riil dan sains. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adiksi internet dan media sosial ini termasuk kedalam sains karena bersifat logis, empiris, dan dapat diuji.
Teori falsifikasi yang dikemukan oleh Karl Popper sangat terbuka untuk dilakukan pada instrumen pengukuran adiksi internet dan media sosial. Beberapa peneliti menyatakan bahwa kehadiran teknologi di tengah masyarakat dapat membentuk suatu budaya baru dan terjadi ketergantungan terhadap teknologi tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan Chi-Square pada penelitian ini menunjukkan bahwa antara kelompok generasi dan adiksi pada internet dan media sosial memiliki hubungan yang kuat. Hal itu menunjukan bahwa kegiatan penelitian pada bidang ini memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan dalam kajian teori ketergantungan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap internet dan media sosial bisa melakukan hal-hal diluar akal sehat danberprilaku buruk.
Dengan melihat kondisi seperti ini maka mau tidak mau harus segera ditangani, karena adiksi dan penggunaan berlebihan untuk hal apapun tidak baik. Karena itu ada beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan yaitu: pergunakan internet dan media sosial sebijak mungkin dan peran keluarga khususnya orang tua membimbing anaknya agar penggunaan internet dimanfaatkan dengan sebaik mungkin dan selalu melakukan pengawasan.
Ada beberapa saran dari penulis untuk pihak-pihak terkait diantaranya adalah pihak pemerintah dapat menyediakan klinik adiksi di setiap Rumah Sakit (RS) atau Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) pada tingkat kabupaten atau kota dan Perlu dibentuknya badan atau satuan khusus guna menanggulangi dampak adiksi internet dan media sosial ini. Selain itu untuk para pengambil kebijakan dibidang pendidikan diharapkan untuk merumuskan formula agar dapat semaksimal mungkin mencegah dan menghindari tingkat adiksi internet dan media sosial yang semakin memburuk serta perlu adanya desain kurikulum khusus yang berjenjang guna mengurangi interaksi siswa dengan gadget dan internet secara berlebihan dalam menyelesaikan tugas dan pembelajaran di sekolah.