Penulis : Hadi Purnama [Dosen Prodi Digital PR Telkom University & Koordinator Mafindo Bandung]
[KPJabar] Setiap pergantian tahun akan selalu ditunggu karena menjadi simbol pengharapan baru. Begitu pun dengan tahun 2021 yang baru saja kita masuki, diharapkan membawa angin segar akan datangnya suatu fajar baru dalam penanganan hoaks. Mungkinkah 2021 akan menjadi tahun tanpa hoaks? Atau itu sebuah harapan yang utopis?
Yang pasti, selama dua tahun terakhir jumlah hoaks di tanah air cenderung menunjukkan trend meningkat. Setidaknya hal itu tercermin dari data yang dihimpun oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang melakukan kolaborasi dengan cekfakta.com.
Bandingkan saja dengan jumlah 1.221 hoaks di tahun 2019, kemudian di tahun 2020 (hingga 16 November) menjadi 2.024. Artinya dalam terjadi trend lonjakan hoaks hampir 100 persen.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Seturut data yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika, Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, sepanjang periode Agustus 2018 sampai November 2019, tim AIS Kemkominfo berhasil mengidentifikasi 3.901 hoaks. Sedangkan untuk tahun ini (hingga 16 Desember 2020) total hoaks terkait isu Covid-19 sudah berjumlah 1.271.
Organisasi lain yang melakukan pemantauan dan sekaligus debunk terhadap misinformasi dan disinformasi adalah Jabar Saber Hoaks (JSH), selama kurun waktu Januari-Desember 2020 telah menerima 5.954 aduan dari masyarakat, 3.660 diantaranya terklarifikasi hoaks.
Jumlah ini cenderung menurun dibandingkan periode yang sama di tahun 2019 yang mencatat angka hampir 5.880 informasi hoaks yang terdeteksi.
Berbeda dengan JSH dan Kemkominfo yang memperlihatkan trend menurun, maka data yang disodorkan oleh Mafindo justru menunjukkan trend peningkatan. Artinya, hoaks di era media sosial di tanah air tetap tumbuh subur diproduksi, diedarkan, atau diamplifikasi oleh para netizen secara masif.
Polusi Informasi
Mengidentifikasi hoaks di era media sosial bukan perkara mudah. Ada milyaran akun pengguna medsos yang tersebar di seluruh dunia dengan tingkat literasi digital yang berbeda. Selain itu semakin sulit mengidentifikasi hoaks karena faktanya telah cepat menjadi industri dengan perputaran uang yang sangat besar.
Produksi dan distribusi konten disinformasi dapat dengan mudah menyebar di antara ribuan pengguna dalam hitungan menit.
Terkait penyebaran hoaks, media sosial adalah biang keladinya. Meskipun media sosial telah menjadi sumber berita paling tidak tepercaya secara global sejak 2016, sebuah riset di 17 negara mengungkapkan bahwa lebih dari 50 persen pengguna internet menggunakan jejaring sosial sebagai cara untuk tetap up-to-date.
Lebih parahnya lagi, pengguna medsos dari kalangan muda sering kali berisiko lebih besar terpapar hoaks daripada generasi yang lebih tua karena penggunaan media sosial mereka yang lebih tinggi (https://www.statista.com).
Demikian karut-marutnya penggunaan medsos saat ini yang digunakan sebagian besar masyarakat dunia karena pertimbangan dapat memperoleh informasi secara cepat, mudah, dan murah.
Sayangnya, sekali lagi, medsos bukanlah media yang cukup kredibel sebagai sumber infomasi. Karakteristik medsos yang mampu menjadikan pengguna sebagai kreator konten (user-generated content/UGC) dari konten yang telah ada, dengan beragam motif, mulai dari iseng, ekonomi, hingga politis, ikut memperkeruh situasi.
Wajar bila kemudian muncul majas bahwa saat ini kita hidup di lingkungan informasi yang polutif.
Apabila kondisi polusi informasi ini dibiarkan berlarut-larut, akan memicu berkembang biaknya virus hoaks (mis/disinformasi) mampu menghancurkan berbagai komunitas di seluruh penjuru dunia.
Hoaks harus diwaspadai karena bukan saja akan menyemai ketidakpercayaan kepada media arus utama yang masih berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik. Hoaks yang tidak ditangani dengan baik akan menyulut api konflik yang meluluhlantakkan kohesifitas masyarakat.
Membangun Sikap Kritis Masyarakat
Diperlukan strategi komprehensif untuk mengatasi hoaks, setidaknya meminimalkan kesempatan bagi pihak-pihak yang akan memroduksi, mendistribusikan, atau mengonsumsinya. Membuat instrument regulasi untuk menindak pelanggaran hoaks adalah salah satu dari beberapa langkah yang harus dilakukan, sebagaimana halnya keberadaan organisasi pengecek fakta (fact-checker) untuk mengatasi beredarluasnya hoaks.
Tahun 2021 harus menjadi tonggak baru bagi para pemangku kepentingan yang peduli dengan gerakan anti-hoaks untuk membangun kemampuan berpikir kritis dan analitis saat mengonsumsi informasi, khususnya yang berasal dari media sosial.
Dengan membangun kemampuan berpikir kritis sekaligus berpikir analitis, masayarakat diharapkan dapat menyaring setiap informasi yang diterimanya, menahan diri untuk tidak menyebarluaskan setiap informasi yang dicurigai kebenarannya.
Semakin banyak elemen masyarakat yang memiliki sensitivitas terhadap hoaks di medsos, serta sadar dampak negatif yang ditimbulkannya, maka hoaks lambat-laun akan tersingkir dari medsos.
Peran masyarakat sipil untuk terus membangun kemampuan berpikir kritis diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan masyarakat melakukan navigasi terhadap hoaks.
Masyarakat yang lebih cerdas dan memiliki kemampuan memilih informasi yang layak dikonsumsi dan mana yang tidak. Jadi, sekali lagi judul artikel ini bukan semata harapan utopis. Semoga tahun 2021 menjadi lembaran baru bagi gerakan anti hoaks.
Wallahualam bishowab.